PURWOKERTO.SUARA.COM – Gunung Anak Krakatau kembali meletus dengan tinggi kolom abu mencapai satu kilometer.
Petugas Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Anggi Nuryo Saputro menjelaskan erupsi pada gunung di perairan Selat Sunda, Provinsi Lampung tersebut hari ini.
Erupsi itu terekam pada seismograf dengan amplitudo maksimum 70 milimeter dan durasi 143 detik. "Kolom abu teramati warna kelabu dengan intensitas tipis sampai tebal ke arah barat daya," ujarnya, di kutip PMJ News, Kamis (11/5/2023).
Diberitakan sebelumnya, pada Kamis pagi tadi, pukul 05.19 WIB, Gunung Anak Krakatau juga mengalami erupsi dengan ketinggian kolom abu mencapai tiga kilometer.
Baca Juga:Maksimalkan Persiapan di Musim Depan, Persebaya Akan Gelar TC Jelang Kompetisi Bergulir
Warna abu yang melontar ke udara berwarna kelabu dengan intensitas tebal mengarah ke barat daya. Erupsi tersebut terekam pada seismogram dengan amplitudo maksimum 70 milimeter dan durasi lebih kurang 2 menit 12 detik.
Gunung Anak Krakatau adalah gunung berapi yang terletak di Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatera. Gunung ini terkenal karena letusannya yang hebat pada tahun 1883 yang menghasilkan salah satu letusan gunung berapi paling dahsyat dalam sejarah manusia.
Untuk diketahui, pada tanggal 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau kembali meletus dengan hebat. Letusan tersebut mengakibatkan tsunami di pesisir Selat Sunda, yang menewaskan ratusan orang dan merusak ribuan rumah dan bangunan.
Jika melihat sejarah Letusan Gunung Anak Krakatau, Gunung Anak Krakatau terbentuk setelah letusan dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Letusan itu menghancurkan gunung Krakatau dan menghasilkan sebuah kerucut vulkanik baru di atas dasar laut yang dikenal sebagai Gunung Anak Krakatau.
Baca Juga:Harga Tiket Konser Coldplay di Jakarta, Mulai Rp 800 Ribu Hingga Rp 11 Juta
Sejak saat itu, Gunung Anak Krakatau telah meletus beberapa kali, dengan letusan yang berbeda-beda dalam skala dan intensitasnya.
Letusan terbesar terjadi pada tahun 2018, ketika gunung itu memuntahkan lava dan abu vulkanik dalam jumlah besar dan memicu tsunami yang menghantam wilayah pesisir Selat Sunda.
Letusan 2018 menyebabkan Gunung Anak Krakatau menurun setidaknya 100 meter, sehingga menyebabkan kekhawatiran tentang kemungkinan letusan lanjutan dan terjadinya tsunami berikutnya.
Penanganan Pasca Letusan Setelah letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018, pihak berwenang melakukan upaya untuk memantau dan mengurangi risiko letusan dan tsunami berikutnya. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain.
Pemasangan peralatan pemantauan gunung berapi seperti seismograf, GPS, dan sensor lainnya. Peningkatan sistem peringatan dini tsunami dan evakuasi. Pengembangan rencana tanggap darurat dan penanganan bencana.
Pembatasan akses ke area berbahaya dan mengatur waktu kunjungan wisatawan. Saat jangka panjang, upaya pencegahan harus dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya letusan dan tsunami di masa depan. Ini termasuk pemantauan terus-menerus, pengurangan aktivitas manusia di sekitar gunung berapi, dan pembangunan sistem peringatan dini yang lebih baik.
Letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 menjadi pengingat yang kuat tentang kekuatan dan potensi bahaya gunung berapi bagi manusia.
Meskipun upaya pencegahan dan penanganan pasca-bencana penting, upaya pencegahan jangka panjang yang lebih serius diperlukan untuk mengurangi risiko letusan dan tsunami di masa depan.***