PURWOKERTO.SUARA.COM, Sosok Menko Polhukam Mahfud MD kembali menuai sorotan. Ini setelah ia mengungkap transaksi janggal di lingkungan Kementerian Keuangan Rp 349 triliun.
Sikap Mahfud MD untuk membongkar tindak pidana pencucian uang di lingkungan Kemenkeu menuai dukungan publik.
Meski ujungnya, Mahfud harus dipanggil DPR untuk menjelaskan perihal transaksi janggal itu. Di hadapan para anggota DPR, Mahfud MD enggan menarik pernyataannya. Ia justru menjelaskannya lebih gamblang dan berani mempertanggungjawabkannya ke publik.
Profil
Baca Juga:Bazar Murah Karanganyar Purbalingga Diserbu Warga
Mahfud lahir dari ibu bernama Siti Khadidjah di sebuah desa di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 13 Mei 1957, dengan nama Mohammad Mahfud.
Lewat nama itu, sang ayah, Mahmodin, berharap anak keempat dari tujuh bersaudara itu menjadi "orang yang terjaga".
Ayahnya bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.
Saat Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin pindah ke daerah asalnya, Pamekasan. Di Kecamatan Waru, Mahfud menghabiskan masa kecilnya.
Surau dan madrasah diniyyah menjadi tempat Mahfud belajar agama Islam.
Ketika berumur tujuh tahun, Mahfud dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN).
Baca Juga:Akhirnya Kemenkeu Akui Kesamaan Data Transaksi Janggal dengan Mahfud MD, Tinggal Penegakan Hukumnya!
Waktu kecil Mahfud sudah dihabiskan untuk menuntut ilmu. Sore harinya, ia belajar di Madrasah Ibtida’iyyah. Malam dan pagi hari, ia belajar agama di surau.
Mahfud kemudian dikirim pondok pesantren Somber Lagah di Desa Tegangser Laok, untuk mendalami ilmu agama Islam. Padahal ketika itu ia masih duduk di kelas 5 SD.
Pondok Pesantren Somber Lagah merupakan pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan. Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an.
Meski nilai ujiannya bagus, Mahfud ternyata tidak melanjutkan sekolah ke SMPN favorit. Orang tuanya memilih memasukkan dia ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan.
Di sini penambahan nama di belakangnya bermula. Saat itu, ternyata ada tiga murid yang namanya sama dengannya.
Untuk membedakan, akhirnya Mahfud menambahkan inisial MD di belakang namanya. Tanpa sengaja, nama itu tertulis dalam ijazahnya. Bahkan sampai sekarang, inisial MD masih menetap di belakang nama Mahfud seperti gelar akademik medical doctor, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sehabis menamatkan PGA selama empat tahun pada 1974, Mahfud terpilih untuk melanjutkan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta yang merekrut lulusan terbaik dari PGA dan Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia.
Tamat dari PHIN tahun 1978, Mahfud meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengambil Jurusan Hukum Tata Negara. Pada saat yang sama ia juga kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Karena ayahnya sudah pensiun, Mahfud harus berjuang membiayai dua kuliahnya. Mahfud aktif menulis di surat kabar umum seperti Kedaulatan Rakyat agar mendapat honorarium untuk membantu biaya penghidupannya.
Ia juga getol berburu beasiswa. Sebagai mahasiswa terbaik, Mahfud berhasil mengantongi sejumlah beasiswa, yakni beasiswa Rektor UII, beasiswa Yayasan Dharma Siswa Madura, dan beasiswa Yayasan Supersemar.
Mahfud bahkan mendapat beasiswa penuh dari UII untuk melanjutkan program pasca sarjana di UGM dengan mengambil studi ilmu politik.
Ia kembali mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan S3. Ia kembali mendalami ilmu hukum tata negara ketika mengambil program doktor di UGM.
Sejak muda, Mahfud tertarik di dunia politik. Ia malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intrauniversitas seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan pers mahasiswa.
Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari sejumlah organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Ia pernah menjadi pimpinan di majalah mahasiswa Fakultas Hukum UII, Keadilan. Juta majalah mahasiswa UII, Muhibbah. Karena kritis terhadap pemerintah Orde Baru, majalah Muhibbah yang dipimpinnya sempat dibreidel sampai dua kali. Pertama, dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo pada 1978. Terakhir, dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada 1983.
Setelah lulus dari Fakultas Hukum pada 1983, Mahfud bekerja sebagai dosen di almamaternya dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mahfud melihat hukum waktu itu tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum.
Kekecewaannya pada hukum yang selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik membuat Mahfud ingin mendalami ilmu politik.
Kesempatan itu ia ambil ketika kuliah S2. Ia banyak berdiskusi dengan dosen-dosen ilmu politik ternama seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Amien Rais, dan lain-lain.
Meski ia sadar, studi lanjut di luar bidangnya itu tidak akan dihitung dalam jenjang kepangkatannya sebagai dosen. Karena itu, selepas lulus S-2, ia melanjutkan pendidikan doktor (S-3) bidang Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM hingga lulus pada 1993.
Mahfud tercatat sebagai mahasiswa doktoral yang lulus cepat. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Padahal, ketika itu (1993) rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun.
Oleh para promotornya, Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar, Mahfud dikirim ke Columbia University New York dan Northern Illinois University DeKalb, Amerika Serikat, untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.
Di New York, ia berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII, yang belakangan menjadi hakim agung.
Sedangkan di Illinois, ia bertemu dengan Andi A. Mallarangeng, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet Indonesia Bersatu II. Kala itu Andi menjadi Ketua Perhimpunan Muslim. Mahfud kemudiann diberi satu kamar di sebuah rumah yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara.
Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih doktor pada 1993. Dari jabatan asisten ahli, ia melompat menjadi lektor madya, mendahului dosen dan senior-seniornya di sana.
Bahkan, tidak sedikit dari dosen dan seniornya itu yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbing ketika menempuh pendidikan pasca sarjana.
Dengan karya tulis yang tersebar berupa buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, tak sulit bagi Mahfud meraih gelar akademik tertinggi.
Ia pun dikukuhkan sebagai guru besar, setelah 12 tahun mengabdi sebagai dosen UII. Di usia 41 tahun, ia tergolong sebagai guru besar termuda pada masanya bersama Yusril Ihza Mahendra.
Dengan kapasitasnya itu, wajar Mahfud dipercaya mengajar di 20 perguruan tinggi, termasuk penguji eksternal disertasi doktor untuk hukum tata negara di University of Malaya, Kuala Lumpur.
Sumber : mkri.id