PURWOKERTO.SUARA.COM, PURBALINGGA - Kasus ibu membuang bayinya hidup-hidup sesaat setelah melahirkan di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah mengoyak rasa kemanusiaan publik. Tak terbayang dorongan sebesar apa yang membuat seorang ibu sanggup melenyapkan hidup bayi yang dikandungnya selama sembilan bulan dan melahirkannya dengan susah payah.
Seorang ibu diberkahi naluri kasih sayang yang besar untuk melindungi dan membesarkan anaknya. Dalam khasanah Islam, dikisahkan Siti Hajar rela berlari ulang alik antara bukit Safa dan Marwah hingga tujuh kali demi seteguk air untuk Ismail, putra yang dinantinya bersama Nabi Ibrahim.
Bunda Maria atau Siti Maryam mengandung Isa Almasih tanpa suami. Ia mempertahankan Isa meski harus menanggung cibiran dan hinaan seisi kota Jerusalem.
Cerita Siti Hajar dan Maryam adalah kisah potret kasih ibu kepada anak sebagai gambaran betapa besar rahman dan rahim seorang ibu pada anaknya. Kasih sayang itu muncul secara alami sebagai berkah dari Sang Maha Rahim dan Rahman.
Baca Juga:Ngadu ke Ketua DPRD DKI, Eks TGUPP Anies Diduga Salah Gunakan Wewenang hingga Terancam Dipolisikan
Namun di Purbalingga, di negeri yang masyhur akan ketaatannya pada moralitas justru terjadi tragedi yang memilukan. Seorang ibu sanggup melarung bayi yang baru dilahirkan ke dalam saluran air di musim penghujan.
Ini adalah kisah YU (32), perempuan asal Mrebet Kabupaten Purbalingga. YU bekerja sebagai buruh pabrik di Purbalingga.
Purbalingga populer dengan industri rambut dan bulu mata palsu. Sebagian besar buruh pabrik yang dipekerjakan adalah perempuan. YU salah satunya.
Karena perempuan bekerja, biasanya lelaki tinggal di rumah untuk mengurus keperluan domestik. Segala pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah lainya dikerjakan suami.
Maka muncul istilah Pamong Praja, singkatan dari papa momong, perempuan bekerja. Istilah ini populer setelah industrialisasi berjalan di Purbalingga.
Baca Juga:5 Adab Sahur Bagi Umat Muslim, Mulai Menjaga Waktu Hingga Menghindari Makan yang Berlebihan
Pola istri bekerja dan suami di rumah bukanlah hal yang lumrah di masyarakat patriarki. Maka tak jarang terjadi cekcok antara suami dan istri hingga berujung perceraian.
Pergeseran peran antara suami dan istri ini memicu gesekan. Secara psikologis, ada semacam superioritas pada perempuan yang bekerja menghasilkan uang terhadap suami yang di rumah mengurus tugas domestik. Perempuan tak lagi bergantung pada suami dalam pemenuhan kebutuhan materi.
Di sisi lain, suami yang berposisi sebagai kepala rumah tangga merasa harga dirinya terinjak ketika istri lebih superior. Suami kehilangan rasa hormat sebagai pemimpin rumah tangga.
Pada situasi seperti ini, kesadaran saling memahami dan menghargai pentingnya peran pasangan sangat diperlukan. Sayangnya, komunikasi yang buruk menjadi kendala untuk masing-masing memahami dan menghargai baik tugas domestik maupun publik.
Maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing mencari pemenuhan kebutuhannya sendiri-sendiri. Inilah yang kurang lebih terjadi pada YU.
YU mencari tambatan hati lain. Masalah muncul ketika keluarga dan suaminya tahu ada pria lain di hati YU.
Puncak konflik keduanya ialah ketika YU dikembalikan ke orangtuanya. Mereka pisah ranjang, bahkan pisah rumah, selama dua tahun. Meski demikian mereka belum resmi bercerai.
Sementara YU terus berhubungan dengan pemuda yang terpaut 9 tahun lebih muda. Selain muda, ia juga dari keluarga berkecukupan, putra juragan showroom sepeda motor bekas.
Singkat cerita YU hamil dengan kekasih gelapnya. Tanpa status suami istri yang sah, kehamilan ini menjadi semacam aib dalam pandangan masyarakat berkultur ketimuran. Khususnya bagi YU yang seorang perempuan.
Dalam moralitas ketimuran, perempuan lebih mudah dilabeli stereotip 'amoral' atau istilah serupa untuk menyebut perempuan yang tidak memiliki kehormatan. Sementara lelaki lebih kebal dari label yang sama meski perannya tak kurang besarnya.
Ketimpangan inilah yang kiranya menekan batin YU hingga sanggup menghabisi darah dagingnya seketika ia lahir ke dunia. Beban berat ada pada YU.
Ia tak sanggup menanggung malu lantaran mengandung janin dari hasil hubungan di luar nikah, meski dengan orang yang dipilihnya.
Dengan kata lain, moralitas yang diskriminatif inilah yang pada akhirnya merenggut bayi laki-laki tak berdosa itu. YU dalam hal ini adalah korban dari sistem moral yang patriarkal, yang bias terhadap perempuan.
Namun itu bukanlah persoalan bagi aparat penegak hukum. Fakta itu tak masuk hitungan dalam proses penegakan hukum positif. Di mata hukum, siapa berbuat dialah yang harus bertanggungjawab.
Maka YU pun kini menanggung status tersangka. Ia dijerat UU perlindungan anak dan kini menghadapi ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar. Lalu bagaimana dengan para lelaki yang terlibat dalam sengkarut sistem moral semu ini? Wallahu a'lam bissawab. ***