PURWOKERTO.SUARA.COM – Perdebatan tentang Restorative Justice (RJ) dalam kasus penganiayaan yang melibatkan Mario Dandy maupun AG terus menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum Indonesia.
Bahkan Mantan hakim agung, Gayus Lumbuun juga berpendapat jika tersangka kasus kekerasan terhadap David tersebut tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan RJ.
Sebab alasan Gayus menyebut jika tersangka Mario Dandy maupun AG harus diadili lewat pidana umum lantaran masuk pidana berat sehingga tidak memenuhi syarat untuk RJ.
Dikutip dari PMJ News Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana menegaskan jika pihaknya tidak menawarkan pendakan RJ.
Baca Juga:Dipanggil Belanda, Shin Tae-yong Yakin Justin Hubner Dapat Bela Timnas Indonesia U-20
Bahkan pihak Kapuspenkum Kejagung tidak memasukan pendekatan hukum tersebut untuk kepada korban maupun pelaku.
Lalu sebenarnya apa saja syarat dari RJ sehingga pendekatan hukum ini bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersangka dan korban.
Untuk diketahui RJ atau Keadilan Restoratif merupakan sebuah konsep yang mempromosikan pendekatan alternatif dalam penyelesaian masalah kejahatan.
Konsep tersebut memfokuskan pada penyembuhan hubungan yang rusak akibat tindakan kejahatan, dengan memberikan kesempatan pada pelaku kejahatan dan korban untuk berdialog dan berdamai.
Di Indonesia, RJ mulai dikenal dan diterapkan dalam sistem peradilan pidana sejak tahun 2002. Namun, untuk menerapkan Restorative Justice memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Baca Juga:Link Live Streaming Rukyat Hilal Penentuan 1 Ramadhan 1444 Hijriah
Berikut ini Lima syarat RJ dalam penyelesaian kasus hukum yang berlaku di Indonesia seperti yang ramai diperbincangkan baru-baru ini.
1. Kesepakatan Bersama
Syarat pertama RJ adalah adanya kesepakatan bersama antara pelaku kejahatan, korban, dan pihak lain yang terkait seperti keluarga atau komunitas.
Kesepakatan tersebut dapat meliputi permintaan maaf, pembayaran ganti rugi, atau tindakan lain yang dapat memulihkan hubungan yang rusak.
2. Pelaku Menyadari Kesalahannya
Pelaku kejahatan harus menyadari kesalahannya dan bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Hal tersebut menjadi penting dalam RJ, karena tujuan dari konsep ini adalah untuk memulihkan hubungan antara pelaku kejahatan dan korban.
Jika pelaku tidak mengakui kesalahannya, maka sulit bagi korban dan pihak lain untuk memulihkan hubungan yang rusak.
3. Korban Mengalami Dampak
RJ juga memperhatikan dampak yang dialami oleh korban. Korban harus merasa aman dan nyaman dalam proses RJ dan harus diberikan kesempatan untuk berbicara.
Utamanya tentang pengalaman traumatis yang dialaminya. Korban juga harus mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf jika ia merasa ada hal yang perlu untuk memulihkan semuanya.
4. Menghormati Hukum dan Hak Asasi Manusia
RJ tidak boleh bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia yang berlaku sehingga dilarang munculnya paksaan.
Sebab proses RJ harus tetap menghormati prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia, seperti prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
5. Adanya Fasilitator atau Mediator
RJ membutuhkan kehadiran fasilitator atau mediator yang dapat membantu memfasilitasi dialog antara pelaku kejahatan dan korban.
Fasilitator atau mediator tersebut harus memahami konsep RJ dan memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang baik dengan kedua belah pihak.
Meski dalam praktiknya, RJ belum sepenuhnya diterapkan secara konsisten di Indonesia. Namun, pendekatan ini menawarkan alternatif pendekatan pelaku kejahatan dan korban.
Oleh karena itu, penting untuk terus mengenalkan konsep ini dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, meski ada beberapa kasus tidak relevan dengan cara ini.***