PURWOKERTO.SUARA.COM – Kasus penganiayaan Cristalino David Ozora (17) terus menjadi perhatian public, bahkan banyak yang mengaitakan untuk penyelesaiannya dengan Restorative Justice.
Namun berbagai pakar menyebut hal tersebut tidak relevan, bahkan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana memastikan tidak akan menawarkan penyelesaian itu kepada korban maupun pelaku.
Ia menegaskan bahwa kasus penganiayaan terhadap David Ozora tidak layak mendapatkan RJ sehingga pihaknya tidak akan menawarkan apa pun baik terhadap korban/keluarga maupun terhadap pelaku.
Untuk diketahui, Restorative justice, atau keadilan restoratif, merupakan pendekatan alternatif dalam penegakan hukum yang menempatkan korban dan pelaku kejahatan sebagai pihak yang sama-sama perlu mendapat perhatian.
Pendekatan ini lebih berfokus pada upaya memperbaiki kerusakan dan memperbaiki hubungan yang rusak akibat tindakan kejahatan, daripada hanya memberikan hukuman kepada pelaku.
Di Indonesia, restorative justice telah diterapkan dalam beberapa kasus kejahatan, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki kearifan lokal yang kuat dan mempraktikkan kebiasaan adat yang mengakomodasi restorative justice, seperti di wilayah Papua dan Maluku.
Namun, penggunaan restorative justice masih terbatas dan belum menjadi pilihan utama dalam penegakan hukum di Indonesia.
Beberapa kasus di Indonesia yang diterapkan dengan pendekatan restorative justice antara lain kasus pencurian di daerah Wamena, Papua, dan kasus konflik antara dua kelompok di Maluku.
Bahkan dalam kedua kasus tersebut, para pelaku diadili dan diberikan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, namun korban dan pelaku juga diminta untuk bertemu dan berbicara untuk menyelesaikan masalah secara damai.
Saat proses ini, para pelaku diminta untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban, sementara korban juga diminta untuk memberikan pengampunan.
Pada kasus-kasus tersebut, restorative justice membantu memperbaiki hubungan antara korban dan pelaku, serta membantu memperbaiki tatanan sosial di daerah tersebut.
Restorative justice juga dapat membantu mempercepat proses penyelesaian kasus dan mengurangi beban kerja bagi sistem peradilan pidana yang sudah terlalu padat.
Meskipun restorative justice belum menjadi pilihan utama dalam penegakan hukum di Indonesia, namun seiring dengan perkembangan masyarakat dan semakin sadarnya pentingnya menghargai hak asasi manusia, pendekatan ini semakin mendapat perhatian.
Beberapa lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Satunama telah mengadakan pelatihan dan workshop tentang restorative justice untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pendekatan alternatif ini.
Harapannya, penggunaan restorative justice dapat semakin ditingkatkan di Indonesia sehingga dapat membantu memperbaiki sistem peradilan pidana yang ada, meski diakui jika dalam kasus penganiayaan Cristalino David Ozora hal itu tidak bisa terjadi.***