PURWOKERTO.SUARA.COM, PURBALINGGA - Objek Wisata Air Bojongsari atau populer dengan nama Owabong kini genap berusia 18 tahun. Ibarat manusia, usia 18 tahun adalah usia remaja, usia ketika anak manusia berada pada masa penuh gejolak. Masa pencarian jati diri yang rentan terhadap ketersesatan jalan hidup.
Pada masa ini visi hidup sangat penting sebagai fondasi. Pun ketika membincang Owabong.
Pada usianya yang ke-18, Owabong harus mengenal jati dirinya agar tak lupa pada visi yang menjadi tujuan utamanya.
Sejatinya, Owabong adalah objek wisata air yang menjadi model bagi wisata air lain, baik di Purbalingga maupun di daerah lain. Namun Owabong unik karena bersumber dari mata air alami.
Baca Juga:Erick Thohir Upayakan Selaraskan Agenda PSSI dengan Jadwal AFC
Walhasil, airnya sejuk. Tidak seperti di destinasi wisata air lain yang kadang beraroma kaporit dan airnya tak sejuk.
Ini tentu terlepas dari berbagai wahana khas yang melengkapi Owabong. Karena Owabong kini memiliki beragam wahana yang membuat pengunjungnya punya banyak pilihan untuk bersenang-senang.
Berangkat dari jati dirinya ini, maka Owabong sangat bergantung pada kelestarian sumber mata airnya. Dengan kata lain, kelestarian lingkungan adalah nyawa dari Owabong.
Sadar dengan realitas ini, Owabong rutin menggelar ruwatan untuk membersihkan sumber mata air Owabong. Prosesi ruwatan digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadan.
"Ini juga bermakna pembersihan diri menyambut bulan suci," kata Eko Susilo, Plt Direktur Owabong, Minggu 19 Maret 2023.
Baca Juga:Ciri Surat Tilang ETLE Asli
Ada tiga mata air utama yang menyokong keberadaan Owabong. Tiga sumber mata air atau tuk dalam bahasa Banyumasan itu antara lain Tuk Cikupel, Tuk Wadon dan Tuk Cipawon.
Tuk Cikupel merupakan sumber mata air terbesar di antara tuk lain. Otomatis tuk ini punya sumbangsih paling besar untuk mengairi Owabong.
Tuk Wadon merupakan sumber mata air yang dahulu kala kerap dipakai untuk mandi kaum perempuan. Sementara Tuk Cipawon merupakan sumber mata air yang digunakan untuk mandi kaum lelaki.
Menurut cerita Anom Narmo Purbocarito, tetua adat setempat, tradisi ruwatan sumber mata air dimulai oleh Jaka Saputra, putra Adipati kerajaan Alang-alang Bundel.
Jaka Saputra membabad atau membuka hutan menjadi perkampungan. Karena di perkampungan itu ada sumber mata air besar, maka perkampungan itu diberi nama Banyumudal yang kini jadi nama dusun lokasi Owabong.
Tradisi ruwatan dilakukan menjelang bulan Ramadan. Orang Jawa biasa menyebut Nyadran.
"Ini bermakna pembersihan diri menjelang bulan suci," kata dia.
Tradisi ruwatan ini berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi hingga hari ini. Owabong mengemasnya dalam kerangka pertunjukan untuk menghibur pengunjung.
Pada perayaan HUT ke-18 Owabong, diselenggarakan pawai budaya. Ada pertunjukan tari, peragaan kostum unik dan narasi sejarah Owabong yang dimulai dari lapangan Desa Bojongsari hingga ke Owabong.
Sesampainya di Owabong, prosesi ruwatan dimulai. Tiga gadis yang masih lajang sebagai simbol dari tiga mata air didaulat mengambil mata air di Sendang Tirta Panguripan, yaitu kolam mata air kehidupan.
Mata air ini lalu ditampung menjadi sstu dalam kendi warna emas di panggung utama. Tetua adat setempat kemudian merapalkan mantra-mantra di atas kendi tersebut.
Mereka yang percaya keberkahan mata air yang dirapali mantra ini mengantre untuk mendapatkan sesiwur air untuk membasuh muka dan kepala. Antrean pun dimulai dari Plt Direktur Owabong diikuti staf dan warga setempat.
"Ini bukan amalan agama, ini hanya tradisi," ujar Ki Anom.
Selain menjadi upacara tradisi, momen ruwatan ini juga memberi suguhan berbeda bagi pengunjung Owabong yang membeludak hari itu. Sebab, tak setiap saat pengunjung bisa menikmati sajian kearifan lokal seperti ini.***