PURBALINGGA.SUARA.COM, PURBALINGGA - Nama Purbalingga pernah sangat populer setelah kasus kanibalisme Sumanto, pria yang memakan mayat demi mendapat daya linuwih. Namun perangai manusia yang memangsa sesamanya bukan hal baru. Setidaknya Thomas Hobbes, filsuf Inggris, telah menyebut manusia adalah srigala bagi sesamanya (homo homini lupus) berabad-abad silam.
Srigala menurut Thomas Hobbes memang tak bermakna harfiah bahwa manusia menjadi srigala dan memakan manusia lainnya. Namun manusia punya kecenderungan "memangsa" sesamanya. Yang berkuasa menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin, dan yang pintar memperdaya yang awam.
Dalam setiap ketimpangan kuasa ada potensi penindasan. Maka tak heran Lord Acton juga berujar "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup."
Berangkat dari premis itu, maka kecurigaan terhadap penguasan selalu ada. Curiga jangan-jangan seorang penguasa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi.
Bowo Leksono, dalam konteks Purbalingga, menjadi semacam pengingat. Karya seninya sejak dahulu kala dikenal kritis terhadap penguasa. Begitulah buah skeptisisme dalam konteks berkesenian. Tentu, siapa saja bisa meminjam cara Bowo Leksono mengolah kecurigaan menjadi karya kritis, apapun bentuknya.
Kekinian, Bowo mengolah keresahan masa lalunya tentang Purbalingga dalam bingkai karya lukis. Sebanyak 15 lukisan dipamerkan. Temanya pun tak kurang garang, "Gugat!".
Dengan 15 karya lukis itu, Bowo seperti sedang mengguggat borok-borok penguasa dari masa silam hingga kini tentang mandat rakyat yang mereka salahgunakan. Lukisan-lukisan itu seperti bingkai memori tentang borok penguasa Purbalingga.
Sebut saja karya bertajuk "Embung Wurung. Lukisan akrilik di atas kanvas ini berkisah tentang Embung Puthuk Suruh yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Triono Budi Sasongko.
Embung Punthuk Suruh dibangun 2002, tahun kedua periode pertama era rezim Bupati Triyono. Proyek ini konon menghabiskan anggaran kisaran Rp 12 miliar.
Penampung air ini terletak di Desa Panunggalan, Kecamatan Pengadegan, salah satu wilayah di Kabupaten Purbalingga yang kekurangan air bersih, terlebih di saat kemarau.
Baca Juga:Hujan Abu Merapi, Desa Krinjing Magelang Gelap Gulita
Pengadegan dan sekitarnya merupakan perbukitan dengan warganya yang mayoritas berkebun. Sejak awal pembangunan, lokasi yang ditujukan sebagai daerah tangkapan air, Punthuk Suruh, mangkrak hingga hari ini lantaran debit air yang tak memenuhi kebutuhan sehingga tak mampu sebagai lokasi cadangan air. Saat itu, penyimpangan ini tak terekspos media mainstream.
Proyek pembangunan waduk mini buatan di Dukuh Punthuk Suruh, Desa Panunggalan, Kecamatan Pengadegan ini, dikenal dengan proyek Unit Pengelola Air Bersih (UPAB) Punthuk Suruh. Ini merupakan proyek penanggulangan bencana alam khususnya untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau yang biasa melanda Kecamatan Pengadegan dan Kecamatan Kejobong. Proyek ini didanai dari bantuan APBN tahun anggaran 2001, sebesar Rp 10 miliar rupiah, ditambah dari APBD Kabupaten Purbalingga tak kurang dari Rp 2 miliar.
Proyek waduk mini ‘Punthuk Suruh’ tersebut bukan hanya memakan biaya yang sangat besar pada waktu itu, namun juga dalam prosesnya telah memunculkan banyak masalah sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan. Baik di tingkat elit birokrasi kabupaten dan para pelaksana (pemborong), juga dalam proses awal pencarian dana yang dikenal dengan “sondolan” ke pusat, serta permasalahan pembebasan tanah masyarakat yang tanahnya digunakan untuk proyek.
Pembangunan proyek ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, pada 2002. Namun paska peresmian, UPAB yang digadang-gadang bisa menanggulangi kekeringan di wilayah Kecamatan Pengadegan dan Kecamatan Kejobong pada kenyataannya tidak berfungsi seperti yang diharapkan.
Waduk mini Punthuk Suruh yang diharapkan bisa menyuplai air bersih ke UPAB untuk didistribusikan ke masyarakat ternyata tidak terisi air seperti yang diharapkan. Debit air tidak mencukupi, bahkan mata air yang ada yang semula diharapkan ditampung di waduk, ternyata berhenti mengalir.
Baca Juga:Lina Mukherjee Rela Dicoret dari KK gara-gara Makan Babi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Untuk mengatasi hal tersebut Pemkab Purbalingga melalui Dinas Pekerjaan Umum kemudian melakukan pengeboran di sekitar waduk berulang kali untuk mencari titik mata air, namun tidak ditemukan. Tambahan anggaran untuk pengeboran pun menjadi sia-sia, air yang diharapkan tak pernah keluar, pelan-pelan nasib Waduk Punthuk Suruh pun mangkrak.
Ada pula lukisan bertema "Sepi Nyenyet" atau sunyi senyap dalam bahasa Indonesia. Lukisan ini berkisah tentang Bandara Jenderal Besar Soedirman Purbalingga.
Gagasan membangun bandara komersil di tanah Purbalingga sudah ada sejak Pemerintahan Bupati Triyono Budi Sasongko bersama Ganjar Pranowo (saat itu anggota DPR RI) sekitar tahun 2006. Rencana pembangunan bandara di Pangkalan Udara Wirasaba yang dibangun pada 1938 oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Setiap pergantian pemerintahan, rencana itu terus berulang hingga pada masa Bupati Tasdi menjadi awal pengembangan Bandara Jenderal Besar Soedirman (JBS) pada 2018. Peresmian beroperasinya Bandara JBS pada 1 Juni 2021 pada masa Bupati Dyah Hayuning Pratiwi. Maskapai yang beroperasi silih berganti, tak menentu, dan sepi. Tak ada alasan orang naik pesawat lewat Bandara JBS. Pun sebaliknya, tak ada alasan orang datang ke Purbalingga dan sekitarnya.
Di era Bupati Tasdi, konsep agar bandar udara ramai ialah dengan membangun Purbalingga Islamic Center (PIC) dengan harapan banyak orang datang ke Purbalingga untuk mempelajari agama Islam. Di samping itu, Bandara JBS juga dijadikan bandara embarkasi haji di Jawa Tengah bagian barat.
Namun, karena proyek PIC itulah, Bupati Tasdi dicocok KPK. Sementara di era Bupati Tiwi, pariwisata Purbalingga dan turunannya menjadi andalan agar penerbangan JBS bisa langgeng. Sementara tak ada nilai pariwisata di Purbalingga yang bisa diandalkan. Bermacam strategi dilakukan, namun tak mampu menjadikan maskapai betah mendarat dan terbang di langit Purbalingga. Tetap "sepi nyenyet"
Masih ada 13 lukisan lain yang menyorot problematika di Purbalingga secara vulgar. Jika ingin melihat langsung sisi lain Purbalingga yang tampak baik-baik saja, maka datanglah ke pameran tunggal karya Bowo Leksono di Aula DPD Golkar Purbalingga. Pameran masih akan berlangsung hingga Minggu, 12 Maret 2023.